CHAPTER PEMILIHAN KULIAH


Hidup itu pilihan, dan pilihan selalu datang bersama konsekuensi yang ada dibaliknya, sedangkan konsekuensi memang selalu seperti koin yang bemata dua: menjadi daya tarik dan menjadi daya tolak untuk mengambil keputusan dan begitu seterusnya sehingga setiap pengambilan keputusan harus disadari dengan pikiran, diyakini dengan iman untuk seterusnya disyukui: dihadapi, dihayati dan dinikmati.

Saya sekarang adalah hasil saya yang memilih di masa lalu: atas dasar kemampuan ekonomi, ya atas dasar finansial bukan berdasar keinginan ataupun kemampuan lainnya. Dulu semasa kecil saya selalu bercita menjadi seorang guru pegawai negeri, terbayang kemakmuran almarhum kakek yang hanya lulusan sekolah rakyat yang bisa  menjadi seorang guru bahkan menjadi seorang pegawai negeri yang gajinya masih diterima oleh nenek meskipun kakek telah meninggal bertahun lalu dan gajinya masih diterima nenek sampai usia nenek yang sudah kepala 7. Atau melirik bibi yang bekerja sebagai guru sekolah dasar memiliki dua anak yang sedang kuliah dan satu anak yang masih sekolah dasar, yang memiliki beberapa kontrakan, sebuah bengkel kecil dan memiliki beberapa  motor dan bercita-cita memiliki mobil walaupun sering urung karena terkendala dengan rumahnya yang tidak bisa masuk mobil.

Sering kali saya menyederhanakan, mereka adalah guru maka jikalau saya ingin seperti mereka maka saya harus menjadi seorang guru. Ide itulah yang menggiring saya di masa SMA untuk memilih kuliah keguruan di mana pun itu. Ide tersebut kemudian diperkuat ketika bibi guru bercerita betapa bersyukurnya ketika kehidupannya kini tak lagi sama seperti zaman dulu, bibi guru membandingkan gaji pertama beliau dengan Bapak saya yang dulunya seorang pegawai swasta, ternyata dulu gaji bibi guru tak sampai sepersepuluhnya gaji Bapak pekerja swasta. Tapi sekarang bibi guru sangat bersyukur walaupun pas-pasan namun segala kebutuhannya terpenuhi. Pas ingin membeli ini pas uangnya ada, pas ingin membeli itu pas uangnya ada. Alhamdulillah.

Semakin kuat keinginan Saya SMA untuk menjadi guru. Pikir saya SMA semua guru adalah PNS maka dari itu Saya SMA semakin bulat memilih menjadi guru dengan menjatuhkan pilihan saya ke UPI salah satu perguruan tinggi negeri yang mencetak calon-calon guru. Ya saya harus masuk Perguruan Tinggi Negeri karena  dijelaskan oleh guru BK saya SMA bahwa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri lebih murah dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Swasta maka mau tidak mau saya harus bisa masuk salah satu PTN.

UPI akhirnya satu-satunya PTN yang saya harapkan. Kenapa UPI? ini kategori tempat kuliah saya: Murah,  Jawa Barat, Tidak sama dengan Kakak IPB.

Saya SMA mempunyai kriteria tersebut berdasarkan berbagai pertimbangan, pertama murah kenapa? Bapak saya adalah seorang pengusaha, sehingga saya khawatir penghasilan Bapak  tidak akan cukup untuk membiayai dua anaknya yang kuliah di luar kota. Bapak saya adalah penjual ubi cilembu yang telah di oven. Ini adalah salah satu makanan favorit saya SMP dan Alhamdulillah selalu tersedia di rumah karena Bapak dibantu Ibu setiap harinya harus menjual ubi yang telah dibersihkan kemudian memasukannya ke dalam oven hingga dari ubi tersebut keluar cairan seperti nectar dan rasanya manis luar biasa, ya kalau ada sisa sebagian mereka bawa pulang ke rumah untuk dibagikan kepada keluarga besar. Ih. Saya suka ubi cilembu.

Jawa Barat, Ya saya harus kuliah di Jawa Barat, saya termasuk orang yang sulit mengenal nama, letak dan jalan, bahkan hasil dimensi ruang saya dalam psikotes bernilai rendah sedangkan semua aspek lain tinggi. Untuk menghafal jalan yang baru saya lalui saja saya harus tersesat berkali-kali. Maka Jawa Barat adalah satu-satunya pilihan saya.

Tidak sama dengan kakak. Wajib saya taati, Saya TK 2 Tahun, Saya SD 6 Tahun, Saya SMP 3 Tahun, Saya SMA 3 Tahun dan semuanya satu sekolah dengan Kakak saya yang hanya terpaut satu tahun dengan saya. Baik saya ceritakan sedikit tidak enaknya satu sekolah terus menerus dengan kakak. (Memang salah saya), Kakak saya adalah seorang murid religius berprestasi, mudah bergaul dan aktif di sekolah, sedangkan saya murid ranking kelas, sulit bergaul dan pernah berkelahi di kelas dan aktif di luar sekolah dengan kelompok saya (hanya dengan kelompok saya). Muka kami memang tak jauh berbeda, hanya saja saya memiliki kulit lebih terang, sehingga banyak guru ataupun murid yang sengaja atau tidak sengaja memanggil saya dengan nama kakak saya. Ini yang sulit, suatu hari saya SMP yang hanya ranking kelas diajak mengobrol oleh wali kelas, “Nak kenapa kamu tidak seperti Kakak kamu?” Bilangya. Seketika saya malu, dan mulai mencela diri. Setiap hari saya melihat kakak saya latihan PBBAB dengan OSIS untuk mengharumkan nama sekolah, sedangkan saya biasanya hanya bermain saja. Hampir disetiap Senin saya melihat Kakak menjadi petugas upacara sedangkan saya hanya jadi peserta upacara, setiap minggu saya sering mendengar kakak saya pamit untuk latihan Pencak silat dan yang saya lakukan hanyalah menonton kartun di Indosiar. Setiap Tahun saya melihat kakak saya disebutkan sebagai murid berprestasi di Upacara yang dilihat semua warga kelas, sedangkan nama saya hanya disebutkan di ruangan kelas dan tak banyak yang mengetahuinya. Sehingga Saya SMA memutuskan untuk tidak lagi hidup di bawah baying-bayang kakak.

Dengan persyaratan tersebut saya SMA mulai mencari PTN yang sesuai:

Jawa Barat                                     : UNPAD, ITB, UPI, IPB, IAIN

Murah                                            : UPI, IPB, IAIN

Tidak sama Dengan Kakak           : UPI, IAIN

Sesuai Keinginan Jadi guru           : UPI

Maka UPI lah satu-satunya pilihan saya. Akhirnya saya SMA memutuskan menemui ibu BK untuk mencari informasi tentang UPI, Ibu BK kemudian memberikan daftar nama jurusan di UPI dan yang menarika perhatian saya ada 3 jurusan. 1) Bahasa Inggris karena saya SMP menyenangi guru Bahasa Inggris Miss Nanay Papat Fathonah dan Miss B, Saya SMA menyenangi Mister Nandang beserta cara mengajarnya sehingga nilai bahasa inggris selalu tak kurang dari 8. 2) Matematika karena saya berpikir kenapa saya cape-cape mengejar masuk jurusan IPA jika tidak digunakan. Kemudian saya berbicara dengan  Ibu BK mengenai keinginan saya dan selanjutnya merubah topic pembicaraan mengenai biaya kuliah di dua jurusan tersebut, khawatir salah ibu BK kemudian memberikan fotokopi daftar biaya kuliah di UPI dan ternyata lumayan mahal bagi saya, saya berdalih ke Ibu BK:

Bu yang belajar matematika dan bahasa inggris sekaligus jurusan apa ya?”

Sambil berharap jurusan yang akan disebutkan Ibu BK lebih murah dari kedua jurusan tersebut.

Ibu BK kemudian menjawab “Ini saja, bahasa inggrisnya bagus, matematikanya juga bagus.

Sambil menunjuk jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.

 

Dan semenjak itulah takdir saya Mahasiswa menjadi pilihan saya.

Tentang fajarjuliansyah

Dulu, mahasiswa bimbingan dan konseling UPI yang punya minat khusus dalam psikoterapi kognitif. Sekarang Guru Bimbingan dan Konseling
Pos ini dipublikasikan di About Pshycology and Conseling. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar