Social Anxiety


Setiap individu pasti pernah merasakan kecemasan dalam hidupnya. Baik ketika berhadapan orang lain ataupun tuntutan yang tidak terpenuhi yang mengharuskan individu untuk memenuhi tuntutan tersebut. Hal ini merupakan suatu proses dinamika psikologis dalam kehidupan individu. Dalam perkembangan social, terutama pada usia remaja yang merupakan masa yang bergejolak dan banyaknya tuntuan kebutuhan yang harus dipenuhi, tentunya hal ini memberikan peluang untuk menimbulkan kecemasan pada individu. Kecemasan yang berhubungan dengan orang lain seringkali membuat potensi individu menjadi tidak optimal. Misalkan jika individu dihadapkan pada suatu kondisi yang mengharuskan dia untuk berbicara didepan umum sementara dia tidak memiliki keberanian, maka hal ini menyebabkan kecemasan dalam dirinya dan berhubungan dengan dunia sosial.
Richards (2001) menjelaskan bahwasanya kecemasan sosial adalah ketakutan akan situasi sosial dan interaksi dengan orang lain
yang secara otomatis dapat membangkitkan perasaan mawas diri, penghakiman, penilaian, dan rendah diri. Atau, kecemasan sosial adalah ketakutan dan kecemasan dihakimi dan dievaluasi secara negatif oleh orang lain, yang mengarah pada perasaan inadekuat, malu diri, merasa bodoh,dan depresi. Dalam Wikipedia, dijelaskan bahwa “Social Anxiety is a term used to describe an experience of anxiety (emotional discomfort, fear, apprehension or worry) regarding social situations and being evaluated by other people”. Dengan kata lain, kecemasan social adalah suatu kondisi yang menggambarkan pengalaman kecemasan seperti emosi yang labil, ketakutan, khawatir sebagai akibat dari anggapan situasi sosial dan dinilai oleh orang lain.
Pendapat lain mengatakan bahwa “Social anxiety disorder is a chronic mental health condition that causes an irrational anxiety or fear of activities or situations in which you believe that others are watching you or judging you” (Mayo Clinic, 2007). Maksudnya adalah bahwa kecemasan social merupakan suatu kondisi kesehatan mental yang disebabkan dari adanya kecemasan yang irasional atau ketakutan terhadap aktivitas dan situasi ini yang dipercayai bahwa orang lain melihat dan menilai secara negatif. Kecemasan sosial (social anxiety) merupakan suatu bentuk rasa cemas yang diarahkan pada lingkungan sosialnya. Individu khawatir dirinya akan mendapat penilaian negatif dari orang lain, khawatir tidak mampu mendapat persetujuan dari orang lain serta takut melakukan perilaku yang memalukan di muka umum. Menurut Wakefield, Horwitz & Schmitz (2005), kecemasan sosial umum terjadi pada tiap orang, namun intensitasnya dapat berbeda-beda. Aspek-aspek dari kecemasan sosial adalah aspek kognitif, berupa penilaian dan ekspektasi bahwa individu akan dinilai negatif, aspek afektif, berupa ketakutan dan rasa cemas saat berhadapan dalam situasi sosial, dan aspek perilaku, yaitu adanya perilaku aman.
Dari beberapa pengertian di atas, ada hal yang esensi mengenai kecemasan social, para ahli psikologi mengatakan bahwa setiap individu pasti mengalami kecemasan social ketika awal bertemu dengan orang lain, atau berbicara di depan umum. Namun, yang membedakan kecemasan sosial yang bersipat klinis adalah lamanya merasa cemas dalam situasi sosial tersebbut. Misalkan orang yang takut berbicara di depan umum selalu merasa cemas ketika dihadapkan untuk berbicara didepan umum selama satu minggu terus dirundung kecemasan terhadap situasi sosial tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya kecemasan sosial adalah suatu kondisi yang menyebabkan seseorang cemas, takut, khawatir terhadap  pandangan orang lain. Esensi permasalahan pada kecemasan social ini adalah keyakinan (belief) yang telah dipegang oleh individu terhadap pengalaman yang membuatnya selalu mawas diri dan takut dinilai secara negatif oleh orang lain. Kecemasan sosial ini seringkali banyak terjadi pada remaja. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yulyanti pada tahun 2004 tentang perbedaan tingkat kecemasan social remaja perempuan dan laki-laki tingkat SMA di Kelapa Gading yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara remaja putra dan putrid. Hal ini menunjukkan bahwasanya kecemasan social merupakan gejala atau fenomena yang melanda pada masa remaja dengan berbagai tingkat kebutuhan yang harus dipenuhi.
 
B.    Gejala Kecemasan Sosial
Kecemasan social seringkali diartikan ketakutan ketika berhadapan orang lain. Namun, esensi yang lebih mendalam adalah bahwasanya kecemasan social merupakan ketakutan penilaian orang lain terhadap diri individu itu sendiri. Kondisi seperti ini, tidak jarang membuat individu takut, cemas, dan khawatir yang seringkali diwujudkan dalam perilaku penghindaran (Avoidance) terhadap peristiwa tersebut. Social anxiety ditandai dengan 3 komponen, yaitu:
1.    Komponen Fisiologis (Physiological components), seperti badan berkeringat, muka merah
2.    Komponen Kognitif (cognitive/perceptual components), berupa keyakinan bahwa sesorang menilai negatif terhadap dirinya
3.    Komponen Perilaku (Behavioral components), dalam bentuk upaya seseorang untuk menghindari situasi yang membuat dia merasakan social anxiety.
Ketiga komponen tersebut merupakan rangkaian skematis dari kecemasan sosial pada individu. Ketika individu dihadapkan pada sesuatu yang membuat cemas atau tidak menyenangkan, maka bisanya akan muncul keringat, setelah itu muncul prangsangka atau penilaian negative terhadap dirinya dan muncul perilaku untuk menghindari situasi yang serupa. Ada beberapa gejala (symptom) yang bisa dikategorikan sebagai gejala kecemasan social (Mayo Clinic, 2007) yaitu :
1.    Gejala gangguan Emosional dan perilaku (Emotional and behavioral signs and symptoms of social anxiety disolder) yang ditandai dengan :
a.    Ketakutan yang berlebihan ketika berada pada situasi social yang orang-orangnya tidak dikenal
b.    Takut terhadap situasi yang bisa mendatangkan penilaian dari orang lain
c.    Khawatir dipermalukan atau menghina diri sendiri
d.    Takut terhadap orang lain yang memperhatikan kecemasan yang dirasakan
e.    Cemas terhadap kekacauan kegiatan sehari-hari atau rutin seperti, bekerja, sekolah, dan aktivitas lain.
f.    Menghindari pekerjaan atau berbicara dengan orang luar karena takut dipermalukan
g.    Menghindari situasi yang akan menjadikan pusat perhatian
2.    Gejala fisik ditandai dengan :
a.    Muka merah
b.    Banyak keringat
c.    Gemetar
d.    Muak
e.    Gangguan Sakit Perut
f.    Berat untuk berbicara
g.    Suara Gemetar
h.    Ketegangan otot
i.    Kebingungan
j.    Berdebar-debar
k.    Menceret (Diarrhea)
l.     Dingin, tangan basah keringat
m.    Sulit untuk menatap mata
3.    Gejala gabungan yang ditandai dengan karakteristik :
a.    Rendah terhadap harga diri
b.    Masalah yang berkaitan dengan ketegasan
c.    Berbicara negatif pada diri sendiri
d.    Sangat sensitif dikritik
e.    Kurang memiliki keterampilan social (Social Skill)
Bentuk-bentuk gejala di atas merupakan gejala untuk mengenali lebih dalam bentuk kecemasan social. Dengan kata lain, orang yang memiliki kecemasan social dapat dilihat dari gejala-gejala di atas karena memang kecemasan social memiliki mekanisme secara skematis yang menghasilkan perilaku.
 
C.    Faktor Penyebab Kecemasan Sosial
Bagi seseorang yang memiliki kecemasan social tentunya berbeda-beda yang menjadi faktor pemicu kecemasan social. Rayuso (2007) mengatakan bahwa The Causes for social phobia can be many and it depends on each person, there is not a specific cause for it that doctors have identify, but there are many factors that can contribute to trigger it. Hal ini menunjukkan bahwasanya faktor penyebab kecemasan sosial pada individu itu berbeda-beda. Namun, secara garis besar faktor penyebab timbulnya kecemasan sosial adalah sebagai berikut :
1.    Faktor genetic (Genes)
Biasanya keluarga yang memiliki orang tuas yang memiliki kecemasan sosial akan menurunkannya pada anaknya.
2.    Pengalaman Sosial (Social Experience)
Pengalaman sosial yang sangat kuat mempengaruhi timbulnya kecemasan sosial. Misalkan pengalaman yang traumatic di depan umum atau dihina dalam waktu yang lam. Hal ini berkembang menjadi faktor penyebab kecemasan sosial.
3.    Pengaruh Budaya
Pola-pola asuh dalam keluarga yang menjadi budaya bisa menjadi faktor penyebab kecemasan sosial. Misalkan ketika anak disuruh untuk diam di depan umum, maka anak akan melakukannya terus menerus.
4.    Pengaruh Neurochemicals
Para peniliti melakukan penelitian tentang pengaruh cairan kimia terhadap gejala kecemasan sosial. Dan hasilnya menunjukkan bahwa ketidakseimbangan cairan kimia serotonin di otak dapat menjadi faktor kecemasan  sosial. Seronin, Neurotransmitter membantu untuk memberikan rasa nyaman dan emosi. Orang yang mengalami kecemasan sosial memiliki perasaan sangat sensitive yang diakibatkan karena kelebihan cairan serotonin.
5.    Faktor Psikologis
Faktor psikologis memiliki peranan yang sangat penting dapat menyebabkan kecemasan sosial. Termasuk repon ketakutan terhadap situasi yang tidak mengenakkan. Selain itu, keyakinan negatif dan keyakinan kondiaiona merupakan faktor psikologis yang menyebabkan kecemasan sosial.

D.    Dinamika Psikogis Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial seringkali terjadi karena pengalaman traumatik terhadap situasi sosial atau pengalaman sosial yang tidak menyenangkan dan penilaian diri terhadap peristiwa sosial tersebut. Misalkan seorang siswa yang maju ke depan kelas kemudian tidak bisa berbicara-bicara apa-apa ketika sudah di depan kelas kemudian teman-temannya menertawakannya sehingga dia trauma dan tidak mau maju ke depan kelas lagi.
SIKLUS KECEMASAN SOSIAL
Secara kronologis, mulanya dia tidak memiliki anggapan yang buruk terhadap permintaan guru ke depan kelas untuk bercerita tentang keluarganya. Akan tetapi sambutan tertawa dari teman-temannya membuat dia merasa malu dan hina sehingga timbul pikiran negative bahwasanya “dia bodoh, tidak pantas dan tidak bisa mengatasi ini”. Kemudian muncul tindakan penyelamatan untuk tidak mengalami kejadian yang serupa dengan melakukan penghindaran (Avoidance). Bentuk-bentuk penyelamatan ini diantaranya dengan menghindari kontak mata, dan tidak mau ketika diminta ke depan kelas lagi.
Adapun situasi-situasi sosial yang menyebabkan seseorang cepat stress dengan gangguan kecemasan sosial diantaranya dengan bertemu dengan orang yang baru, menjadi pusat perhatian, diliht orang lain ketika melakukan sesuatu, berbicara di depan umum, menampilkan diri di depan panggung, dikritik, berbicara dengan orang yang penting atau otoritas, dipanggil di kelas, minum atau makan di depan umum, menggunakan kamar mandi umum, dll. Situasi sosial tersebut merupakan faktor yang mengakibatkan stress bagi orang-orang yang mengalami kecemasan sosial. Dinamika psikologis orang yang mengalami kecemasan sosial tidak jarang memberikan penilaian dirinya yang begitu rendah. Sehingga hal ini menyebabkan dia tidak memiliki kepercayaan diri. Dan tentu saja hal ini menghambat potensi yang dimilikinya. Untuk itu, gangguan kecemasan sosial merupakan gangguan yang harus diberikan kepada oran-orang yang benar ahli dalam bidang kejiwaan.

ILUSTRASI KASUS DAN PENANGANANNYA

A.    Deskripsi Kasus
Indra Permana adalah salah satu siswa SMA kelas XI di sebuah  SMA Negeri di Bandung. Dia seringkali Takut untuk tampil didepan umum (berbicara/pidato/presentasi dll) dan jika dipaksakan untuk tampil pasti gugup, grogi, demam panggung, gemetaran, tidak PD, berkeringat banyak karena merasa panas. Dia juga merasa sangat pemalu bersosialisasi atau pergi ke acara/undangan karena merasa selalu menjadi pusat perhatian. (3) Tidak berani bertatapan mata dengan orang lain (4) Selalu tegang, cepat panik, selalu cemas terhadap sesuatu tugas yang akan dijalankan meskipun waktunya masih lama (misalnya:presentasi). Hal ini seringkali terjadi ketika dia dihadapkan untuk bertemu dengan orang lain. Dia merasa bahwa perasaan seperti ini terjadi setelah adanya peristiwa yang membuat dia merasa sangat memalukan sewaktu dia masuk kelas pertama kalinya di SMP. Dia mengatakan bahwa sewaktu itu, gurunya meminta dia untuk memperkenalkan diri kepada teman-teman kelasnya di depan dan ketika dia memperkenalkan diri di depan kelas dia merasa sangat takut dan berbicara tidak beraturan terus berkeringat dan merasa sangat malu sekali. Dan ternyata teman-temannya pun ikut menertawakan dia ketika dia memperkenalkan nama dirinya dengan suara yang kacau. Semenjak itu, dia selalu merasa tegang ketika diminta untuk berbicara di depan kelas.

B.    Treatmen atau Penanganan Kasus Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial merupakan bentuk kecemasan atau ketakutan terhadap situasi sosial yang dihadapi. Bentuk-bentuk tindakan penyelematannya adalah seperti penghindaran terhadap situasi tersebut. Hal ini seringkali terjadi karena individu menilai atau berpikiran negative terhadap pengalaman situasi sosial yang telah dialaminya tersebut. Dengan demikian, untuk menangani masalah kasus di atas, konselor sebagai pelaksana layanan bimbingan dan konseling di sekolah harus melakukan langkah-langkah penanganan secara professional. Adapun dalam menangani kasus di atas, langkah-langkah yang harus dilakukan oleh konselor adalah sebagai berikut :
1.    Melakukan Diagnosis Kasus/Studi Kasus (Case Study)
Dalam hal ini, tindakan yang harus dilakukan oleh konselor adalah melakukan analisis secara mendalam terhadap kasus Indra Permana. Telahaan analisis secara mendalam ditekankan pada latar belakang timbulnya kecemasan sosial pada Indra Permana. Langkah awal, harus dilakukan adalah dengan melihat terlebih dahulu Buku Pribadi IP. Hal ini dilakukan untuk melihat latar belakang keluarga konseli. Selain itu, juga kita akan mengenal lebih mendalam konseli. Pada deskripsi kasus di atas, terlihat bahwasanya ada pengalaman situasi sosial (Social Experience) yang tidak menyenangkan dan menyebabkan trauma ketika harus berbicara di depan umum. Dalam situasi sosial masa lalunya diceritakan bahwa IP sewaktu perkenalan awal masuk SMP dia merasa tegang dan ditertawakan teman-teman. Oleh karena pengalaman tersebut membentuk keyakinan (beliefe) bahwasanya ketika dia ke depan kelas, maka teman-teman akan menertawakan teman-teman dan memalukan diri sendiri. Pikiran dan penilaian negatif ini menjadi keyakinan inti (Core Beliefe) dari kasus di atas. Dengan demikian, bentuk-bentuk penghindaran dari adanya kecemasan sosial pada IP adalah berupa penghindaran terhadap situasi sosial tersebut. Misalkan dengan menghindari untuk berbicara di depan umum, menghindari kontak mata dengan orang lain, dan selalu menolak jika diminta untuk berbicara di depan umum.
Dari fenomena dan gejala di atas, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis gejala tersebut dengan menggunakan pendekatan teori psikologi. Pada kasus di atas, terlihat bahwasanya konseli (IP) berpikir irasional sebagai akibat dari pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan. Menurut Ellis (Corey, 2004) neursosis atau berpikir dan bertingkah laku irrasional adalah suatu keadaan alami yang pada taraf tertentu menimpa kita semua. Keadaan ini berakar dalam pada kenyataan bahwa kita adalah manusia dan hidup dengan manusia-manusia lain dalam masyarakat. Pendekatan rational emotif dengan teori A-B-C dapat menganalisis secara mendalam tentang pikiran irasional IP. Telah diketahui bahwasanya IP telah ditertawakan oleh teman-temannya dan merasa memalukan diri sendiri ketika berbicara di depan kelas. Maka, yang menjadi A (Accident) yaitu ketika IP di depan kelas merasa memalukan diri karena ditertawakan oleh teman-teman sekelasnya, dan muncul keyakinan (B) sebagai manifestasi dari kejadian bahwasanya ketika berbicara di depan kelas pasti memalukan dan ditertawakan oleh teman-teman. Sehingga konsekuensi emosional (C) berupa penghindaran untuk berbicara di depan umum. Mekanisme tersebut adalah terjadinya kecemasan emosional dilihat dari pandangan RET. Dengan demikian pikiran irasional (Irrational Belief) konseli yang harus diintervensi.
2.    Melakukan Prognosis (Upaya Intervensi yang akan diberikan)
Melihat fenomena dan gejala kasus di atas, maka kecemasan sosial yang terjadi pada IP adalah hasil dari pemikiran irrasional tentang berbicara di depan umum. Dengan demikian, berdasarkan telaahan analisis di atas, maka pendekatan Cognitive Behaviour Theraphy (CBT) merupakan pendekatan yang paling tepat dalam membantu IP. Alasannya adalah karena CBT mencakup kedua aspek yang menyeluruh (Comprehensive) dalam melakukan intervensi. Selain itu, sering digunakan oleh pakar-pakar psikologi seperti, Thomas A. Richards, Ph.D, Franklin R. Schneier, M.D., dan lain-lain. Richards (1996) menjelaskan bahwasanya berdasarkan hasil studi pendektan Cognitive Behaviour Theraphy, merupakan pendekatan yang cocok untuk menangani masalah-masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan sosial. Dengan demikian, untuk menangani kasus di atas, sangat cocok digunakan pendekatan CBT. Teknik yang digunakan pada CBT merupakan perpaduan antara pendekatan kognitif dan behavioral. Adapun langkah-langkah pendekatan Cognitive Behaviour Theraphy (CBT) untuk menangani masalah kecemasan sosial ini adalah :
1.    Intervensi pertama adalah penggunaan Exposure Theraphy untuk mengurangi ketegangan kecemasan.
Teknik exposure theraphy ini memancing konseli untuk mengalami kecemasan dalam setting yang nyata dalam konseling. Misalkan IP selalu cemas ketika berbicara di depan umum, maka dalam hal ini konselor menjadi pendengar dan konseli diminta untuk memperkenalkan diri. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan situasi sosial yang menyebabkan kecemasan pada konseli dan konseli berani untuk mengurangi atau memadamkan kecemasan. Selain itu, teknik ini berguna untuk membatasi masalah yang dihadapi konseli sehingga konselo dapat melakukan langkah yang tepat dalam memberikan bantuan.
2.    Intervensi yang kedua adalah berupa latihan relaksasi untuk mereduksi gejala kecemasan fisik pada konseli.
Hal ini bertujuan agar IP mampu melakukan reduksi terhadap kecemasan yang seringkali muncul. Teknik yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan teknik Relaksasi (Relaksasi Training) yaitu metode untuk mengurangi kecemasan dengan mengontrol ketegangan fisik saat mengalami keadaan stress. Metode latihan relaksasi yang diberikan seperti meditasi, yoga, dan lain-lain. Diharapkan setelah melakukan tahapan latihan relaksasi ini, IP dapat mereduksi ketegangan saat stress atau bertemu dengan orang yang baru. Dengan demikian, setelah memiliki keterampilan relaksasi, konseli dapat mengontrol ketegangan yang menyebabkan stress.
3.    Intervensi yang ketiga adalah menantang pikiran negatif
Telaahan analisis diatas, membuktikan bahwasanya konseli memiliki pengalaman yang menyenangkan yang menyebabkan dia berpikiran irasional untuk tidak mau berbicara di depan umum. Langkah, kedua yang dilakukan oleh konselor adalah dengan melawan pikiran negatif IP bahwasanya berbicara di depan umum memalukan menjadi pikiran yang postif. Teknik yang digunakan adalah merestrukturisasi pikiran (Cognitive Restructuring) yaitu teknik yang menggunakan pendekatan kognitif dalam mengubah perilaku. Randall dan Book (2002) menjelaskan bahwa Cognitive Restructuring merupakan model pendekatan dengan mengajak konseli untuk mengenali pikiran yang menimbulkan kecemasan dan mengurangi pikiran yang condong berprasangka. Konselor mengajak konseli untuk lebih mengenali atau memahami pikiran negatifnya tentang berbicara di depan umum. Pikiran negatif seperti “Aku kelihatan bodoh ketika berbicara di depan umum”, “Orang-orang akan berpikir aku bodoh”. Konselor bisa mengkonfrontasi pikiran-pikiran negatif konseli dan mengubah pikiran negatif dengan pikiran positif. Kata-kata yang bisa digunakan untuk mengubah pola pikir IP adalah seperti “Apakah kamu yakin ketika kamu berbicara di depan kelas, kamu akan dipermalukan ?”, “Walaupun kamu gugup, apakah orang-orang akan menganggapmu bodoh?”. Selain itu, konselor bisa menggunakan video untuk mengubah pola pikir IP yaitu dengan menampilkan cuplikan latihan public speaking yang dimulai dari tidak bisa menjadi bisa. Tahapan ini berakhir ketika konseli memiliki paradigm berpikir yang berbeda terhadap siuasi sosial. Kondisi yang demikian bisa dilihat dengan perubahan perilaku pada IP seperti, konseli bisa berpikir secara jernih tanpa pikiran negatif dan bisa menatap orang lain.
4.    Intervensi yang ketiga adalah memberikan latihan keterampilan sosial (Social Skill Training).
Intervensi yang ketiga ini merupakan latihan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Teknik latihan keterampilan sosial ini mengajarkan kepada konseli untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi sosial. Misalkan, konslei diberikan latihan bagaimana cara ketika bertemu dengan orang lain seperti latihan 5 S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun), latihan berkomunikasi di depan umum. Jika kita analisis, orang yang memiliki kecemasan sosial, pada dasarnya kurang memiliki keterampilan sosial. Untuk itu, diperlukan peningkatan dalam keterampilan sosial. Konselor bisa memadukan berbagai paduan teknik dalam social skill training seperti bermain peran (role play), percontohan (modeling), dll. Latihan keterampilan sosial yang diberikan memberikan pujian, mengeluh karena tidak setuju terhadap sesuatu hal, menolak permintaan orang lain, tukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran kepada orang lain, pemecahan konflik atau masalah, berhubungan atau bekerja sama dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin, berhubungan dengan orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya, dan beberapa tingkah laku lain sesuai dengan keterampilan yang tidak dimiliki oleh konseli.

5.    Langkah terakhir adalah menghadapi situasi sosial yang nyata
Pada langkah terakhir ini, konselor membantu konseli untuk menghadapi situasi sosial yang nyata. Situasi sosial ini yang seringkali mendatangkan rasa cemas, khawatir, dan penghindaran terhadap situasi tersebut. Keterampilan sosial yang telah diberikan pada konseli diaplikasikan langsung dalam kehidupan sehari-harinya. IP merasa kesulitan dalam komunikasi di depan umum. Maka, langkah konselor adalah dengan menggunakan teknik Home Work yaitu meminta IP untuk mempraktikkan keterampilan sosial di dalam kehidupannya. Misalkan dengan cara memperkenalkan diri dengan orang yang sebelumnya tidak dia kenal. Hal ini bertujuan agar konseli mendapatkan pengalaman situasi sosial yang nyata tidak hanya dalam latihan keterampilan sosial. Teknik Home Work yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan awal yang dibutuhkan oleh konseli dan tidak memaksakannya. Dengan demikian, keterampilan-keterampilan sosialnya secara berangsur-angsur dipraktekan dalam setting nyata. Pada pertemuan selanjutnya, konselor merefleksikan pengalaman konseli. Penggunaan teknik ini, terus digunakan sampai konseli terampil berkomunikasi di depan umum. Adapun yang menjadi indikator dari keberhasilan terapi adalah IP mampu berbicara di depan umum dengan tenang dan tidak cemas.

Tentang fajarjuliansyah

Dulu, mahasiswa bimbingan dan konseling UPI yang punya minat khusus dalam psikoterapi kognitif. Sekarang Guru Bimbingan dan Konseling
Pos ini dipublikasikan di About Pshycology and Conseling. Tandai permalink.

7 Balasan ke Social Anxiety

  1. Yogestri Rakhmahappin berkata:

    Boleh minta sumber2nya mas?

    Suka

  2. Nurul Riski berkata:

    Boleh saya meminta sumber-sumber dari artikel ini? Terimakasih

    Suka

  3. nikma berkata:

    bagus buat referensi.terimakasih

    Suka

  4. salsabila berkata:

    membantu sekali postingannya,.. trima kasih (y)

    Suka

  5. daftar pustaka bisa tolong di share kah ?

    Suka

Tinggalkan komentar